Pendekatan ABG-C untuk Membangun Sistem Inovasi Bangsa

Avanti Fontana
Penulis Innovate We Can! Manajemen Inovasi dan Penciptaan Nilai (Gramedia Widiasarana Indonesia, 2009)

Berbincang dengan pendiri Kalbe Farma, Dr Boenjamin Setiawan, yang biasa dipanggil dengan sebutan akrab Dr Boen, tidak lepas dari semangat untuk berinovasi pada berbagai tingkat kegiatan, tidak hanya di perusahaan atau organisasi bisnis (Business) pada umumnya, tetapi juga pada tingkat pendidikan tinggi (Academic), pemerintah (Government), dan komunitas (Community). Dr Boen menekankan bahwa dalam membangun Sistem Inovasi Nasional, atau saya sebut dengan Sistem Inovasi Bangsa (SIB), tiga pelaku saja belumlah cukup, komunitas harus diikutsertakan dan menjadi pusat perhatian.

Saya (untuk selanjutnya disebut penulis di sini) bisa katakan bahwa komunitas menjadi input sekaligus output proses inovasi itu sendiri. Seperti layaknya lingkungan sebuah organisasi bisnis, dalam suatu sistem terbuka, ia menjadi input faktor produksi untuk perusahaan dan sekaligus menampung atau menerima output dari perusahaan dalam bentuk produk, barang atau jasa. Komunitas menjadi unit analisis dalam pembicaraan dan penerapan SIB. Pada situasi ini, tepatlah bila penulis mendefinisikan inovasi sebagai kesuksesan ekonomi dan sosial berkat diperkenalkannya cara baru atau kombinasi baru dari cara-cara lama dalam mentransformasi input menjadi output sedemikian rupa sehingga menciptakan atau menghasilkan perubahan besar dalam hubungan antara nilai guna dan harga yang ditawarkan kepada konsumen dan/atau pengguna, komunitas, sosietas, lingkungan.

Penulis melihat bahwa semangat berinovasi pada empat tingkatan ini harus dilakukan dalam pola pikir dan tindakan kolaborasi dan kreativitas sosial. Kolaborasi dan kreativitas sosial ada dalam situasi di mana berbagai pihak tersebut saling mempercayai satu sama lain, memiliki integritas, dan tidak ada agenda tersembunyi. Inovasi adalah suatu proses lingkaran keutamaan yang pantang disadap dengan pikiran-pikiran negatif; sekali kita terjebak dalam lubang-lubang negatif, kita malahan meninggalkan lingkaran keutamaan itu (virtuous circle).

Dr Boen menekankan pentingnya membangun dan menumbuh-kembangkan mind-set inovasi di Indonesia. Membangun pola pikir inovasi ini berarti juga membangun dan menyuburkan budaya yang pro inovasi, budaya yang tidak KOMNAM, yaitu tidak KOrupsi, tidak Mempersulit, tidak Not action talk only, tidak Alon-alon asal klakon, dan tidak Minta-minta.

Penulis dalam buku Innovate We Can! menulis pentingnya karakter inovasi yaitu integritas dalam arti tidak ada agenda tersembunyi, jujur, dan dapat dipercaya. Karakter inovasi menjadi kondisi yang penting untuk berinovasi. Paduan kompetensi inovasi dan karakter inovasi yang baik akan mendukung jalannya inovasi pada tingkat mana pun, dalam konteks ABGC dan juga termasuk dalam konteks individu pada ABGC.

Penulis melihat, inovasi bukan kegiatan soliter, penjumlahan kompetensi dan karakter yang pro inovasi akan menghasilkan energi berlipatganda untuk inovasi, dan bayangkan jika energi inovasi ini berada di ABG-C dan dalam tingkat nasional, bangsa-Negara. Kolaborasi keempat pelaku inovasi dibutuhkan untuk membangun SIB. SIB merupakan cara dan pola interaksi antar pelaku inovasi tersebut yang memungkinkan terjadinya proses inovasi secara menyeluruh dalam lingkup nasional yang dimungkinkan oleh adanya sumbangan (input dan/atau umpan balik) dari masing-masing kelompok pelaku inovasi di atas, yang mana masing-masing memiliki kekuatan-kekuatan sendiri dalam rantai nilai inovasinya.

Pada tataran makro, SIB dibutuhkan untuk tumbuh dan berkembangnya perekonomian dan kehidupan sosial politik budaya bangsa. Inovasi mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan pada umumnya. Sementara pada tataran mikro SIB memfasilitasi proses atau rantai nilai inovasi pada organisasi-organisasi bisnis dan non-bisnis sehingga inovasi yang dilakukan oleh setiap pelaku berkontribusi sebagai input dan output di antara sesama pelaku dalam SIB. Inovasi pada tingkat mikro organisasi meningkatkan minat beli konsumen/masyarakat karena nilai manfaat yang dipersepsikan jauh lebih besar daripada uang yang harus dikeluarkan konsumen/masyarakat, dan pada gilirannya berdampak pada pertumbuhan ekonomi makro dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.* (Bekasi, 31 Agustus 2009)